Jangan Kasih Kendor, Bang Jon!

#15HariCeritaEnergi

Gambar Bang Jon
(sumber gambar: Asia Times)

Pendahuluan 

(www.esdm.go.id) - Di hari kelima dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis ingin bercerita mengenai potensi dan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi dalam pembangkit listrik. Lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa atau disingkat dengan PLTBm.

Pemilihan untuk membahas biomassa (sebagai salah satu sumber energi terbarukan) untuk pembangkit listrik dikarenakan pelaku usaha di sektor energi yang mengembangkan dan memilih investasi di bidang ini ternyata sudah cukup banyak.

Selain itu, penulis disini juga cukup tertarik dengan potensi pelet kayu (wood pellet) yang juga memiliki nilai ekspor yang baik di pasar internasional. Ceritanya penulis pernah berkunjung dan mempelajari secara langsung terkait proses pembuatan pelet kayu yang kemudian akan dijual sebagai bahan bakar.


Potensi dan Pemanfaatan Bioenergi: Bagian I

Mengacu kepada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, disebutkan bahwa yang termasuk dalam sumber energi terbarukan antara lain panas bumi, bioenergi, angin, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut [1]. Sebelumnya penulis sudah membahas terkait potensi dan pemanfaatan panas bumi sebagai solusi untuk mencapai target 23% penggunaan EBT pada porsi bauran energi final Indonesia pada tahun 2025 nanti. Bagi agan yang belum sempat membacanya, bisa simak tulisan saya sebelumnya di  Melipir ke Energi Panas Bumi, Bang Jon!.

Dan sekarang penulis coba untuk membahas terkait bioenergi.

Secara pribadi sebenarnya penulis lebih akrab dengan kata biomassa, karena sejak SMP sudah dikenalkan dengan istilah ini pada pelajaran ilmu alam atau Biologi. Dan ternyata, penjabaran dari energi bio ini tak terbatas pada biomassa saja namun juga biofuel dan biogas. Intinya, sama. Berasal dari makhluk hidup.

Energi bio sendiri merupakan segala sesuatu yang bersumber dari makhluk hidup. Bisa dari tumbuhan, hewan, maupun manusia. Namun dalam hal pemanfaatannya sebagai sumber energi, maka dibagi menjadi tiga klasifikasi yakni biomassa, biofuel dan biogas. Dan tulisan kali ini berfokus pada potensi dan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi.

Berbicara tentang biomassa, penulis jadi teringat lagunya Koes Plus yang berjudul Kolam Susu. Terutama pada bait yang terakhir.
Orang bilang tanah kita tanah surga..
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman..
Orang bilang tanah kita tanah surga..
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman..

Yep, sudah menjadi rahasia umum bahwa tanah Indonesia adalah tanah surga. Berbagai jenis flora dan fauna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang terbesar dunia. Indonesia sendiri memiliki kawasan hutan dengan luas kira-kira 120 juta hektar yang juga memiliki potensi sumber biomassa disamping sebagai sumber daya alam dan penyangga kehidupan. Sebagai sumber energi, biomassa tergolong lebih baik daripada jenis sumber energi lainnya seperti angin, arus laut, dan panel surya.

Biomassa sendiri banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Dengan sistem pengoperasian pabrik yang sama seperti pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara, menjadikan PLTBm sebagai pilihan yang menarik bagi pelaku usaha di sektor energi terbarukan karena proyeksi keuntungan atau profit yang baik bila dibandingkan dengan panel surya, kincir angin, atau memanfaatkan tenaga arus laut.

PLTBm di Indonesia sendiri didominasi oleh sumber biomassa berbasis wood pellet. Limbah berupa cangkang sawit dan tongkol jagung dapat dimanfaatkan untuk membuat pelet kayu ini, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar di PLTU. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya juga sudah diberikan contoh dan informasi bahwa Growth Steel Group (GSG) sebagai perusahaan swasta juga sudah memiliki 5 PLTBm dan saat ini sedang berencana untuk membangun 5 PLTBm lagi yang baru. Bahan bakar yang digunakan adalah pelet kayu berbasis limbah cangkang sawit dan tongkol jagung itu tadi. Juga campuran serbuk kayu seperti mahoni, dan lain-lain.

Pemilihan biomassa sebagai sumber energi listrik tentu memiliki permasalahan. Permasalahan itu adalah terkait dengan ketersediaan bahan baku.

Dengan penggunaan bahan organik, maka perencanaan supply and demand bahan baku penting untuk direncanakan dengan sebaik mungkin karena umur bahan baku biomassa memerlukan waktu pertumbuhan yang tidak sebentar. Apalagi kebanyakan sumber biomassa adalah bahan baku pangan semisal sawit, jagung, tebu, padi, dan ubi kayu. Akhirnya harus bergantung pada masa panen. Dan berakibat pada beberapa perusahaan yang mengalami kesulitan bahan baku.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), diberikan data bahwa pengembangan sumber biomassa pada tahun 2015 sebesar 5,6 juta ton dan diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta ton pada tahun 2025 untuk memenuhi target 23% penggunaan EBT dalam porsi bauran energi final [2].

Jika dilihat sekilas, mungkin bisa mencapai angka 8,4 juta ton biomassa tersebut. Namun penulis belum menemukan data terbaru berapa angkat pemanfaatan biomassa sampai dengan saat ini. Maka, jika agan-agan pembaca memiliki informasinya, boleh share di kolom komentar ini. Tentu akan membantu penulis dan dapat menambah wawasan.

Kan begini yang menjadi persoalan dalam kondisi kekinian: pertumbuhan penduduk.

Dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyalahkan pertumbuhan penduduk, namun rasanya masuk akal jika pertumbuhan penduduk tentu akan mengurangi lahan-lahan yang ada. Mungkin sebelumnya berupa persawahan dan pertanian, sekarang sudah banyak yang menjadi kawasan perumahan. Hutan-hutan pun juga sudah banyak yang dibuka. Pembebasan lahan untuk infrastruktur, dan sejenisnya. Tentu hal ini akan mempengaruhi sumber daya biomassa yang berupa pangan (jagung, tebu, padi, dan ubi kayu) dan kayu, bukan?

Dan ternyata, dalam RUEN sudah diberikan gambaran bahwa untuk mencapai sasaran pengembangan pembangkit listrik tenaga biomassa ini, kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah menggalakkan budi daya tanaman-tanaman biomassa non-pangan.

Sialnya, entah karena penulis malas mencari sumber terbaru atau memang nyatanya belum ada sama sekali, sejak eranya Pakde Joko menjadi hokage publikasi dan berita terkait strategi ini tidak penulis dapatkan. Baik dari sumber primer maupun sekunder.

Penulis pernah berbincang dengan pelaku usaha bisnis pelet kayu di pabriknya yang hanya seluas 10x20 meter. Dan dengan luas itu sudah bisa menghasilkan pelet kayu dengan kapasitas 800 kg/jam. Padahal, bahan baku pelet kayu yang digunakan bukanlah bahan baku pangan seperti limbah cangkang sawit, sekam padi, atau serbuk gergaji kayu.

Bahan baku yang dipakai adalah tanaman biomassa non-pangan, yakni Kaliandra Merah. Penulis mengetahui potensi luar biasa tanaman yang bisa tumbuh di segala jenis tanah ini; masa tanam sebentar; dan terus tumbuh meski sudah dipotong batangnya, karena terinspirasi dari Abah Dahlan Iskan yang juga orang Surabaya. Karena itu, penulis berinisiatif untuk melihat secara langsung potensi dan memang benar, sangat menggembirakan sebenarnya. Tanaman Kaliandra dan lahan tetap milik kelompok tanai, yang nantinya akan dibeli pabrik. Jadi, pengusaha pelet kayu tersebut tidak menguasai keseluruhan proses bisnis dengan memiliki tanah dan kebun sendiri, tetapi pemerataan bisnis dengan melibatkan masyarakat. 

Terlepas dari keinginan kuat pemerintah saat ini yang ingin menegakkan jargonnya - Energi Berkeadilan - lewat pemerataan dan peningkatan rasio elektrifikasi, amanat RUEN untuk menciptakan pembangunan energi yang berwawasan lingkungan juga harus tetap menjadi prioritas.

Jika sebelumnya penulis berkesimpulan bahwa pilihan pertama untuk mencapai target 23% adalah dengan melipir ke energi panas bumi, maka dalam tulisan kali ini penulis berharap agar pemerintah jangan kasih kendor terkait pengembangan dan pemanfaatan potensi biomassa sebagai sumber energi. Apalagi setelah regulasi Permen ESDM RI No. 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang mengatur besaran tarif yang dibeli oleh PLN dari pelaku usaha sempat mendapatkan protes dan penolakan karena besaran tarif tersebut kurang menarik dan pengembang merasa rugi.

Dan lagi, untuk Bang Jon, Energi Berkeadilan bukan hanya tentang rasio elektrifikasi yang meningkat, bukan?

Multiplier effect seperti pemerataan peran dengan menciptakan lapangan kerja baru, misalnya dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk menyediakan bahan baku juga bisa menjadi bentuk penerjemahannya. Sehingga semuanya tidak harus menjadi milik dan dikuasai pelaku bisnis. (*AG)

#15HariCeritaEnergi #KementerianESDM #EnergiTerbarukan #EnergiPanasBumi


Referensi:

[1] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Energi
[2] Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Rencana Umum Energi Nasional

0 comments:

Post a Comment

+