Membaca Fenomena Disruption pada Industri Energi Terbarukan

Tesla Model S
(sumber gambar: www.tesla.com)
"Kami tidak melakukan kesalahan apapun; tiba-tiba kalah dan punah."
Stephen Elop (Nokia)


Pendahuluan

Di hari ketiga dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis akan menyajikan pandangan-pandangan yang mencoba untuk memperkuat landasan berpikir mengenai penerapan dan pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai permasalahan dalam penerapan dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, dengan disertai informasi kondisi kekinian dan fakta yang mengikutinya. Untuk lebih lengkapnya bisa sobat energi baca di Kondisi, Fakta dan Permasalahan Energi Terbarukan di Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan wawasan dan pandangannya mengapa pengembangan energi terbarukan terasa lambat, yang kemudian akan diketemukan dengan contoh-contoh lapangan. Dan bisakah energi terbarukan menjadi sebuah fenomena disruption baru di abad ini?

Tentu tulisan ini tidak mewakili kondisi riil di lapangan, namun bisa menjadi rujukan untuk memahami dan memproyeksikan wawasan mengenai energi terbarukan Indonesia di masa depan dengan pandangan saat ini.


Penggunaan Bahan Bakar Fosil di Masa Depan

Banyak tulisan berbasis opini yang saya baca di blog maupun media sosial, mengatakan bahwa cadangan minyak bumi kita akan habis sebelum tahun 2050. Di masa depan kita akan mengalami krisis energi. Dan solusi atas itu adalah mengembangkan dan menerapkan energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif.  Pertanyaannya, apakah benar demikian?

Simak penjelasan berikut.

Badan Energi Internasional (International Energy Agency - IEA) yang berbasis di Perancis memperkirakan bahwa total pangsa pasar pembangkit listrik yang bersumber energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) secara global hanya 17 persen pada tahun 2040, hal ini karena batubara (31 persen) dan gas alam (24 persen)  akan terus diproduksi dan digunakan sebagai sumber energi yang murah dan dapat diandalkan. Bahkan bisa lebih rendah dari angka 17 persen [1]. Ini data dari IEA. Perhatikan gambar 1 dibawah.
 
Gambar 1. Presentase Pembangkit Listrik Dunia berdasarkan Sumber Energi
(sumber: IEA, 2014)

Bisa jadi, perkiraaan IEA itu adalah alasan mengapa perkembangan energi terbarukan terasa lambat, terutama di Indonesia. Apalagi teknologi pengeboran minyak dan gas bumi semakin canggih dengan ditemukannya metode fracturing berbasis shale. Dan lagi, kebijakan Arab Saudi sebagai negara terbesar produsen minyak bumi yang akan menjual sebagian sahamnya di Saudi Aramco tahun 2020 nanti. Raja Arab sudah mampir ke negara kita kemarin, kan. Salah satunya adalah menawarkan potensi minyak tersebut.

Membaca informasi diatas tentu membuat kita sedikit berpikir, karena potensi Batubara dan Minyak Bumi di dunia masih sangat besar dan melimpah.

Meski begitu, penulis ingin memberikan pandangan bahwa sebenarnya pengembangan energi terbarukan bukan hanya terjadi di negara-negara maju saja. Di negara-negara berkembang pun mulai banyak dilakukan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.

Seperti yang dilaporkan McKinsey, negara-negara yang bergabung dalam Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) ternyata memiliki perkembangan energi terbarukan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya [2]. Ini tentu kontradiksi dengan data dan informasi dari IEA diatas. Pun OECD sendiri ternyata didominasi oleh negara-negara berkembang. Dengan perkembangan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya, tentu proyeksi penggunaan energi terbarukan di masa depan akan membaik. Bahkan diperkirakan dalam 25 tahun kedepan sejak tahun 2015 lalu, akan dicapai angka 43 persen pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di Afrika; 48 persen di Asia; dan 63 persen di Amerika Latin. Asia sendiri telah memproyeksikan anak menambah sekitar 1587 pembangkit listrik baru berbasis energi terbarukan (non-hidro & nuklir).


Disruption pada Industri Energi Terbarukan

Sebenarnya, istilah disruption ini mulai populer di Indonesia sejak Prof. Rhenald Kasali menerbitkan buku yang berjudul Disruption, dan beliau juga sering menuliskannya di media baik cetak maupun elektronik. Meski begitu, contoh yang diberikan beliau, yang paling melekat di masyarakat dan tentu saja pembacanya adalah fenomena disruption pada industri taksi konvensional yang digantikan dengan taksi online. Akhirnya ketika bicara disruption, ingatnya gojek. Juga industri digital lainnya sehingga membuat beliau menjelaskannya berkali-kali [3].

Pun juga dalam bukunya [4], Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber. Penjelasannya didominasi oleh wawasan yang berbasiskan pada industri digital karena memang beliau terinspirasi dari buku Alvin Toffler yakni The Third Wave yang diterbitkan pada akhir abad 20 lalu. Meski begitu, landasan berpikir dan cara berpikir disruption itu sebenarnya yang perlu kita dalami. Bukan pada contoh-contohnya, karena disruption bisa terjadi dalam bentuk apa saja.

Pertanyaannya: “Benarkah Energi Terbarukan dapat Memberikan Gangguan pada Sektor Energi?”

Pertanyaan ini dirasa cukup strategis mengingat industri batubara, minyak bumi dan gas alam adalah jenis energi yang ketersediaannya melimpah, harga yang murah, dan sudah terbukti andal. Selain itu, pelaku industri batubara, minyak bumi dan gas alam bukanlah lawan yang tak kelihatan. Bahkan jika memperhatikan informasi dari IEA pun, di tahun 2040 energi dunia masih di dominasi oleh sektor energi fosil.

Dengan senang hati penulis akan menjawab: benar dan bisa. Beberapa strateginya akan dibahas pada tulisan ke-13 dan 14. Namun, akan diberikan wawasan dan pandangan secara umum terkait membaca fenomena disruption pada industri energi terbarukan dalam tulisan ini.


Ciri Disruption dan pembacaannya di Industri Energi Terbarukan:

Terdapat beberapa ciri agar suatu industri bias menjadi sebuah disruption. Berikut ini merupakan cirri-ciri disruption dan kemudian akan diberikan penjelasan oleh penulis terkait industri energi terbarukan sebagai bentuk disrupsi.

1.   Dari kepemilikan perorangan menjadi berbagi peran/ kolektif-kolaboratif



Dalam tulisan kedua mengenai #15HariCeritaEnergi kemarin, penulis telah menjelaskan dan memberikan gambaran bahwa permasalahan penerapan energi terbarukan sebagaimana dikeluhkan beberapa pelaku bisnis adalah karena masalah pendanaan. Penulis juga sudah memberikan contoh bahwa ternyata di luar negeri semisal di Afrika, pengembangan EBT dilakukan dengan skema kerjasama multinasional dan juga investasi dari organisasi duni dan bank dunia. Dengan begitu, akan menyebabkan semakin banyaknya pihak yang ikut untuk mengembangkannya meskipun tidak di negaranya karena tujuannya bukan lagi untuk negaranya tapi untuk masa depan.



Masalah pendanaan sekali lagi bukan masalah. Nyatanya investasi di bidang energi terbarukan terbilang sangat kuat dan besar. Tercatat pada tahun 2015 investasi sebesar 286 milyar dolar untuk energi terbarukan dan diproyeksikan terus meningkat [5].



Contoh lainnya adalah PLTU Biomasa atau PLTBm yang dibangun oleh Growth Steel Group (GSG). GSG merupakan industri berbasis baja, namun telah memiliki 5 PLTBm dan masih berencana membangun 5 PLTBm di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. GSG dengan lokasi yang strategis berhasil membangun kerjasama untuk menyerap limbah cangkang sawit dan tongkol jagung untuk dijadikan bahan bakar pada PLTBm. Sehingga, listrik yang dihasilkanpun bisa dijual ke PLN. Jadi masalah bahan baku bukanlah permasalahan utama dalam penerapan energi terbarukan ini sebagaimana disampaikan oleh Dirut PT EBI (BUMN) yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.



Pembangkit listrik berbasis sampah kota pun juga cukup menarik, meski model bisnisnya  saat ini masih belum melibatkan masyarakat secara langsung. Di Surabaya sudah terdapat pembangkit listrik berbahan dasar sampah, sementara Jakarta juga sudah membangun pembangkit listrik sampah kota (Municipel Solid Waste). Singapura sudah punya lima. Bahkan Denmark impor sampah dari Perancis untuk pembangkit listriknya. Sementara itu beberapa negara pun tertarik untuk investasi pembangkit listrik sampah di Jakarta seperti Finlandia [6,7].



Saat ini sampah rumah tangga masih belum bernilai bagi kita, bahkan merepotkan. Namun, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan sampah yang biasa kita buang dan tidak ada harganya malah bisa menghasilkan uang. Karena lahir industri baru yang membeli sampah (misal online dan ambil di tempat) untuk dipakai sebagai sumber listrik berbahan sampah yang mereka punya, misalnya. Bukan hal yang mustahil, kan?
  
2.   Proses Bisnis menjadi lebih hemat biaya dan lebih simpel

Jika digambarkan dengan bisnis model kanvas, proses bisnis pada industri energi terbarukan akan didapatkan lebih hemat biaya dan simpel. Tapi, untuk menjadikan energi terbarukan sebagai sebuah disrupsi energi tak cukup hanya dengan bisnis model kanvas.

Saat ini, kita tahu bahwa biaya yang dikeluarkan untuk industri bahan bakar fosil mencakup proses eksplorasi, eksploitasi, pemanfaatan, dan penimbunan atau daur ulang. Proses produksi penambangan dilakukan, selanjutnya dilakukan pengangkutan bahan baku, dan butuh tempat untuk pemurnian seperti kilang minyak atau tempat pencucian batubara, gudang, disamping itu juga membutuhkan sarana transportasi dan logistik untuk sampai ke konsumen. Tentu dalam model bisnis ini, industri berbahan dasar fosil terlihat sangat kompleks dan kurang efisien.

Maka, untuk menjadikan energi terbarukan dapat menjadi disrupsi perlu inovasi dalam bisnis dan kembali merekayasa ulang proses bisnis itu agar tidak kalah dengan bahan bakar fosil yang sudah terbukti murah dan andal.

Kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang atau jasa, bukan?

3.   Kualitas yang dihasilkan lebih baik

Seperti dalam penjelasan diatas, bahwa kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang/ jasa. Meski efisiensi dan kapasitas faktor dari teknologi energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) lebih rendah daripada berbahan bakar fosil, namun kualitas listrik yang dihasilkan akan mendapatkan nilai tambah dari segi inovasi nilai. Energi yang bersih dan ramah lingkungan, akan membuat konsumen menjadi lebih tertarik.

Bukankah banyak industri pariwisata berkelas internasional yang menawarkan liburan eksotis, privat dan menawarkan petualangan di pulau-pulau terpencil? Untuk listrik, mereka menggunakan energi terbarukan. Di Indonesia pun sudah ada contohnya seperti Pulau Cinta di Gorontalo yang menggunakan panel surya [8]. Pulau ini digadang-gadang sebagai Maldives-nya Indonesia.
 
 Gambar 2. Pulau Cinta di Gorontalo: Maldives-nya Indonesia
(sumber gambar: http://www.pulocinta.com)


Industri pariwisata pun mulai menawarkan pelayanan yang selain menyenangkan, juga menyehatkan. Maka, pilihan penyediaan listrik berbahan energi terbarukan adalah salah satu terobosan untuk memberikan pelayan itu. Bayangkan jika, destinasi wisata sudah bagus, namun tenaga listrik bersumber dari diesel yang notabene berbahan bakar fosil. Tentu berisik, dan menyebabkan polusi bukan?.

Industri berbasis energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) menjadi sangat potensial jika digunakan dalam kondisi seperti pulau-pulau kecil dan pedalaman. Pelaku industri berbasis ini harus bias melihatknya sebagai pasar potensial yang tidak akan disasar oleh PLTU konvensional. Jelas akan rugi, karena pembuatan grid dan instalasinya mahal. Energi terbarukan adalah solusinya.

4.   Menciptakan pasar baru

Industri berbasis energi terbarukan sebenarnya dapat memperluas dan menciptakan pasar baru. Selain itu, juga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja ketimbang industri konvensional berbahan bakar fosil. Ambil contoh mikrohidro atau PLTMH, misalnya. PLTMH sendiri lebih banyak kita jumpai didaerah pegunungan dan pedalaman daerah. Tentu dalam prakteknya, membutuhkan komponen-komponen pendukung seperti peralatan mesin dan elektronik. Ini bersebrangan dengan identitas pegunungan dan daerah pedalaman yang identik dengan pertanian. Jika ada PLTMH tentu dapat menciptakan pasar baru di daerah sekitarnya, misalnya toko mesin dan elektronik, rumah makan. Lapangan pekerjaan juga akan tercipta dengan sendirinya seiring dengan adanya listrik di daerah.

Apalagi pembangkit listrik yang lebih besar seperti PLTA, PLTB, PLTG, PLTN. Akan semakin memperluas pasar dan juga lapangan kerja. Salah satu lapangan kerja yang terbuka luas adalah dibidang riset dan pengembangan. Selain itu, pembangkit listrik energi terbarukan lebih banyak membutuhkan orang daripada PLTU Batubara atau BBM yang lebih mengandalkan mesin dan sifatnya tidak tersebar.
 
5.   Produknya mudah diakses dan dijangkau oleh penggunanya

Ini berkorelasi dengan penjelasan sebelumnya. PLTMH contohnya. Produk listrik mudah diakses. Juga panel surya. Listrik dari PLN yang membutuhkan pembangunan grid, akan sulit mencapai daerah-daerah pedalaman karena akan merugi jika membangunnya. Misalkan terjadi kerusakan pun, konsumen bisa cepat tahu. Dan penyelesaiannya pun bisa lebih cepat karena menyangkut jumlah listrik yang tak sebesar gardu listrik PLN yang bergantung pada pusat supply daya.

6.   Menjadikan sesuatu lebih smart, pintar, hemat waktu dan akurat

Ada berita baik dari The Economist, bahwa saat ini sudah ada teknologi baru yang memungkinkan industri dan rumah tangga untuk menggunakan energi terbarukan meski bekerja pada malam hari [9]. Kita tahu bahwa tenaga surya, angin dan arus laut sifatnya hanya sementara dan tak sepanjang hari menghasilkan tenaga yang cukup untuk dikonversi ke listrik. Ini karena sudah dikembangkan teknologi baru melalui digitalisasi, hitungan pintar dan baterai yang memungkinkan permintaan energi yang tidak terputus-putus saat menggunakan teknologi berbasis energi terbarukan.

Didaerah saya pun, Lumajang, sering terjadi pemadaman listrik dari PLN. Padahal, menurut laporan tahunan dari Gubernur Jawa Timur, listrik di Jatim berlebih. Jelas, karena kita punya Pembangkitan Jawa Bali (PJB) di Gresik dan Probolinggo yang kapasitasnya besar. Setiap minggu dilakukan pemadaman listrik, meski tempat tinggal saya di pusat kota. Hal ini terjadi karena seringnya terjadi kerusakan di gardu PLN Lumajang. Akibatnya, perlu perawatan berkala. Dan waktu pemadamannya pun tak tanggung-tanggung, dari pagi sampai maghrib. Meski sudah dikabarkan sebelumnya, tentu ini cukup mengganggu aktivitas kita.

Bisa jadi dimasa depan, ada sebuah terobosan bisnis di bidang energi listrik. Dengan inovasi nilai dan inovasi teknologi yang sedemikian rupa, sehingga bisa kompetitif dengan listrik PLN. Jika ada demikian, maka dapat menawarkan kepastian kepada konsumen dengan pelayanan yang jauh lebih baik. Semisal ada kerusakan, petugas akan sigap datang ke tempat konsumen, dan menyelesaikannya dalam waktu tercepat dan memuaskan. Mungkin model bisnis ini hanya bisa diwujudkan untuk daerah potensial tenaga surya dan angin.


Penutup

Jadi, sebenarnya energi terbarukan dapat memenuhi ke-enam ciri disruption, meski saat ini penerapan dan realisasi energi terbarukan di lapangan belum bisa menjadi sebuah “gangguan”, apalagi menggantikan peran batubara dan BBM.  Perlu terobosan-terobosan baru di bidang inovasi nilai dan inovasi teknologi dalam proses bisnisnya. Jika bersaing pada tataran pembangkitan listrik, maka energi terbarukan akan sulit menjadi fenomena disruption. Namun, jika bersaing dalam model bisnis baru dan turunannya, maka bisa dipastikan energi terbarukan yang akan menang. Ambil contoh: Tesla Motors.

 #15HariCeritaEnergi #EnergiTerbarukan #EnergiBaruTerbarukan #EBT #KementerianESDM #Disruption



Referensi:

[1]     International Energy Agency. 2014. World Energy Outlook 2014. France: IEA
[2]     Nyquist, S dan Manyika, J. 2016. Renewable energy: Evolution, not revolution. McKinsey&Company
[3]     Rhenald Kasali. 2017. Meluruskan Pemahaman Soal “Disruption”. Jakarta: Kompas.com
[4]     Rhenald Kasali. 2017. Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan tak kelihatan dalam Peradaban Uber. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[5]     Cox, L. 2016. The Rise of Renewable Energy. London: disruptionhub.com
[6]     Oktara, D. 2017. Sampah di Jakarta Siap Diolah Menjadi Listrik. Jakarta: Tempo.co
[7]     Chandra, AA. 2017. Finlandia Lirik Proyek Pembangkit Sampah di Jakarta. Jakarta: Detik.com
[8]     Berlibur di Pulau Cinta Gorontalo, Ibarat Pangeran dan Ratu Berbulan Madu. 2016. indonesiadailynews.co
[9]     Wind and Solar Power are Disrupting Electricity Systems. 2017. www.economist.com

0 comments:

Post a Comment

+